Kesehatan anak adalah hal penting dalam melahirkan generasi penerus bangsa yang lebih berkualitas. Itulah sebabnya hingga kini Kementerian Kesehatan terus mengupayakan cara terbaik guna mewujudkannya. Tidak hanya dilakukan terhadap anak, kesehatan ibu hamil juga mendapat porsi lebih guna melahirkan generasi penerus yang sehat hingga mampu berkompetisi di kancah dunia.
Meski bukan hal baru, kegiatan peningkatan gizi dan imunisasi terhadap bayi telah menjadi sorotan utama sejak dulu. Banyak kegiatan dan berbagai peluncuran program Kemenkes untuk mendapatkan hasil yang optimal telah dilakukan. Dan sekarang, masalah gizi dan imunisasi juga mendapat perhatian lebih. Pasalnya Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH, pun menaruh perhatian serius dalam penanganan gizi dan imunisasi. Hal ini dikatakan langsung oleh Menkes pada sebuah wawancara singkat dengan Interaksi beberapa waktu yang lalu. la menegaskan dari delapan prioritas yang dimiliki, ia menjelaskan salah satunya terkait tentang peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
“Seluruh prioritas ini memiliki sasaran untuk menurunkan Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi lahir (AKB). Semuanya menjadi satu relevansi guna mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia,” papar Menkes yang mengacu pada data yang dilansir Direktorat Bina Gizi Masyarakat tentang kondisi kejadian gizi buruk. Dalam data tersebut tertera bahwa telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang dari 18,4 persen menjadi 17,9 persen dalam rentang waktu 2007 hingga 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 juga mengatakan telah terjadi penurunan prevalensi balita pendek pada 2007 sebanyak 36 persen menjadi 35.6 persen pada 2010.
Bukan isapan jempol belaka jika peristiwa kekurangan gizi pada anak Indonesia dapat membawa berbagai dampak buruk, tidak hanya secara pribadi namun juga lingkup yang lebih besar, yaitu nasional. Seperti yang dipaparkan oleh Direktur Bina Gizi Masyarakat, Dr. Minarto, MRS. Menurutnya, dampak kekurangan gizi pada masa depan anak sangat memprihatinkan jika masalah pemenuhan gizi ini tidak diperhatikan. Kurang gizi yang terjadi pada periode kritis atau kemudian sering disebut sebagai “Masa Emas” (Golden Period), yang ditandai dengan masalah pada pertumbuhan dan perkembangannya, serta yang lebih buruk adalah kematian. Bila terjadi masalah gizi pada periode emas ini, akan mengakibatkan tingginya prevalensi gizi kurang, anak pendek, kurang Vitamin A, dan Anemia Gizi Besi. “Keadaan ini selanjutnya akan berakibat pada rendahnya kualitas perkembangan anak hingga dapat mempengaruhi tingkat kualitas generasi penerus bangsa,” paparnya dengan nada serius.
Kesenjangan Derajat Kesehatan
Meski di atas kertas telah banyak kemajuan yang dihadirkan, namun Menkes menjelaskan masih ada kendala. la mengakui masih ada kesenjangan (disparitas) derajat kesehatan antar wilayah di Indonesia.
“Meski demikian, masih terlihat adanya kesenjangan (disparitas) derajat kesehatan, di antaranya disparitas yang mencakup wilayah, tempat tinggal, gender, hingga tingkat sosial ekonomi masyarakat,” jelas Menkes. Masalah kesenjangan bukanlah hal sepele, pasalnya kondisi ketidakmerataan akses kesehatan masyarakat di berbagai daerah akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, khususnya tentang kesehatan keluarga terkait gizi dan imunisasi.
Minarto juga sependapat tentang adanya kemungkinan terjadinya sebuah jargon yang selama ini ada, yaitu Lost Generation. Jargon tersebut merupakan sebutan tentang hilangnya kesempatan Indonesia untuk dapat bersaing secara optimal. “Jargon tersebut dapat diartikan bahwa Indonesia akan kehilangan kesempatan bagi generasinya karena kualitas SDM yang rendah sehingga terjadi penurunan daya saing akibat penurunan tingkat kecerdasan dan derajat kesehatan yang tidak optimal,” ujarnya.
Dalam rangka pemenuhan gizi secara seimbang dapat dilakukan sesuai dengan siklus kehidupan, yaitu dengan cara makan beraneka ragam makanan. Namun untuk keadaan tertentu, seperti ibu hamil, selain makan seperti biasa juga harus mengonsumsi suplementasi tablet tambah darah, untuk ibu nifas mendapat kapsul vitamin A dua kali selama masa nifas. Untuk bayi setelah berusia lebih dari 6 bulan dan balita mendapat kapsul vitamin A, yang juga diikuti dengan pemberian makanan tambahan yang berkualitas, serta pemberian bubuk tabur gizi (Taburia). Untuk anak usia sekolah (remaja), pemberian suplementasi tablet tambah darah dilakukan secara mandiri.
Berbicara tentang pemenuhan gizi juga diakui oleh Minarto harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya anak, keluarga juga perlu mengetahui standar pemenuhan gizi melalui Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). “Untuk mengatasi masalah ini, maka pendidikan gizi yang mengarah pada Kadarzi merupakan bagian penting dan sangat berperan dalam meningkatkan status gizi balita,” lanjutnya.
Seiring dengan pemikiran ini, Menkes juga melakukan berbagai upaya guna mengatasi pemahaman gizi di kalangan keluarga. Itulah sebabnya Menkes menjelaskan berbagai prioritas kerja untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan pada masyarakat. la menegaskan dalam revitalisasi kesehatan, masyarakat menjadi sasaran sekaligus pelaku untuk meningkatkan derajat kesehatan. “Dalam revitalisasi kesehatan, kita memberdayakan masyarakat. Kita ingin masyarakat punya keinginan untuk hidup sehat, dan mampu mengatasi masalah kesehatan yang muncul melalui kegiatan yang bersifat UKBM,” tegasnya.
Tangung Jawab Bersama
Menkes juga menguraikan beberapa langkah strategis lain yang diambil untuk menghilangkan adanya kesenjangan perbedaan derajat kesehatan masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Menjawab pertanyaan tentang masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, Menkes berupaya melakukan terobosan yang disebut sebagai ‘reformasi bidang kesehatan. “Reformasi kesehatan masyarakat diperlukan karena terjadinya disparitas pencapaian pembangunan kesehatan di Indonesia,” tambahnya.
Mengacu pada amanat Undang-Undang Rl No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, tertulis jelas bahwa pembangunan kesehatan harus diselenggarakan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan, dan kemandirian adil dan merata, serta pengutamaan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, termasuk keluarga miskin.
“Penanganan untuk keluarga atau masyarakat miskin diwujudkan dengan pemberian pembiayaan pelayanan kesehatan dasar promotif dan preventif maupun pelayanan kesehatan rujukan melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat,” lanjut Menkes menjelaskan tentang penyetaraan akses kesehatan pada seluruh lapisan masyarakat, terutama keluarga miskin.
Lebih lanjut ditegaskannya, hal ini merupakan satu upaya untuk memberikan kepastian perlindungan sosial secara menyeluruh. Program tersebut juga menargetkan bahwa pada tahun 2011 mendatang, seluruh keluarga miskin, 100 persen memiliki asuransi kesehatan dan akan berjalan secara bertahap dan menyeluruh pada 2012 hingga 2014 mendatang.
Pencanangan Imunisasi Tambahan
Berkaitan dengan program imunisasi, baru-baru ini 11 provinsi terpilih sebagai daerah pencanangan kampanye campak dan polio tambahan. Provinsi tersebut adalah Sumatra Barat, Kepulauan Riau, NTT, Maluku, Papua Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Riau, dan Banten. Namun pencanangan kampanye di Provinsi Papua Barat terpaksa dibatalkan karena terjadinya banjir bandang di Wasior.
Imunisasi merupakan salah satu target penting terkait penurunan angka kematian bay! dan balita,” ujar Menkes. Rencananya pada 2011 nanti, kampanye akan dilakukan di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi, papua, Lampung, Jabar, OKI Jakarta, Jateng, dan Jatim.
“Hasil imunisasi akan optimal bila cakupannya maksimal. Kampanye campak dan folio ditargetkan bisa mencakup minimal 95% bayi dan balita di seluruh Indonesia,” tambah Menkes.
Memang mengatasi masalah kesehatan dalam lingkup nasional seperti Indonesia dengan berbagai karakteristik budaya dan geografis berbeda, tidak semudah membalik telapaktangan. Menkes juga mengakui bahwa pemerataan kesehatan perlu sebuah kerjasama yang solid dari berbagai pihak hingga lintas kementerian untuk mengatasinya.
“Kabinet saat ini sudah cukup solid. Kita telah mengupayakan berbagai kerjasama dengan beberapa Kementerian, seperti Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Mendiknas dalam mengatasi berbagai kendala pemerataan kesehatan nasional,” tegasnya.
Tidak berbeda jauh dengan pemikiran Menkes, Direktur Imunisasi dan Karantina Kesehatan, dr. Andi Muhadir, MPH juga memiliki visi yang sama. Dirinya berharap diperlukan adanya pengertian dan kerjasama lembaga terkait dalam membangun derajat kesehatan masyarakat.
Seperti halnya direktorat yang dipimpinnya juga memerlukan kerjasama berbagai pihak lintas sektor. “Sebagai contoh dalam program imunisasi telah berupaya untuk menggandeng berbagai pihak, antara lain Kementerian Dalam Negeri, PKK, Aisyiyah, Perdhaki, IDAI, POGI, dan IBI,” ungkapnya.
Khusus program Imunisasi, Andi menegaskan memiliki beberapa target pencapaian yang tengah diupayakan. Ke depan akan berjalan berbagai program yang ingin mewujudkan seluruh desa Indonesia dapat mencapai Universal Child Immunization (UCI). Suatu daerah dikatakan UCI jika minimal 80 persen bayi di daerah tersebut mendapatkan perlindungan terhadap penyakit.
“Sampai tahun 2009, pencapaian UCI baru mencapai 69,6 persen dari seluruh Desa/Kelurahan yang ada. Pemerintah juga berkomitmen mencapai eradikasi polio pada tahun 2012 dan eliminasi Tetanus Neonatorum pada tahun 2011 mendatang,” paparnya.
GAIN UCI
Adalah GAIN UCI atau Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization (GAIN UCI), yang merupakan komitmen Kementerian Kesehatan guna menjamin seluruh anak Indonesia mendapat imunisasi secara menyeluruh.
Imunisasi merupakan satu cara efektif menekan penyakit infeksi atau menular yang mampu membuat cacat hingga kematian di kalangan anak-anak.
Secara tegas Indonesia menetapkan target pada 2010 mendatang, 100 persen desa dan kelurahan mencapai UCI. Hal ini tertulis jelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi dan Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 741/MENKES/ PER/VII/2008 tentang Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota.
Menurut laporan rutin tahun 2008-2009, cakupan UCI belum mampu mencapai target memuaskan. Pada 2008, ada 68,2 persen kabupaten/kota yang baru melaksanakan UCI, sedangkan tahun 2009 hasil ini merangkak sedikit menjadi 69,2 persen saja.
“Penyebab utama rendahnya pencapaian UCI adalah rendahnya akses pelayanan dan tingginya angka drop out. Hal ini antara lain terjadi karena tempat pelayanan imunisasi jauh dan sulit dijangkau, jadwal pelayanan tidak teratur dan tidak sesuai dengan kegiatan masyarakat, kurangnya tenaga, tidak tersedianya kartu imunisasi (buku KIA), rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat, waktu pemberian imunisasi, serta gejala ikutan imunisasi. Selain itu, faktor budaya dan pendidikan serta kondisi sosial ekonomi juga ikut mempengaruhi rendahnya pencapaian UCI desa/ kelurahan,” papar Andi.
Menyadari hal itu, pemerintah pun telah menetapkan melalui RPJMN dan RENSTRA Kementerian Kesehatan 2010-2014yaitu kebijakan upaya percepatan yang dikenal dengan GAIN UCI 2010-2014.
Namun seakan tidak lelah dengan hasil dan kendala yang ditemui, Direktorat Imunisasi dan Karantina Kesehatan akan tetap mencoba agar penerapan ini berhasil. Itulah sebabnya ada empat pendekatan yang kini digunakan dalam program GAIN UCI. Pendekatan tersebut di antaranya penguatan PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) untuk memetakan wilayah, menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan termasuk tenaga, logistik, dan sarana pelayanan, pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan unsur masyarakat, dan pemerataan jangkauan terhadap semua Desa/Kelurahan dengan lebih memfokuskan Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK), serta Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK).
Indikator keberhasilan GAIN UCI mengacu pada RPJMN tahun 2010-2014 dengan target pencapaian di tahun 2010, yaitu mencapai 80 persen untuk UCI desa/kelurahan dan persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang tiap tahunnya bertambah 5 persen sampai ditahun 2014 mencapai target 100 persen.
Pelaksanaan kegiatan GAIN UCI harus ditunjang dengan koordinasi dari tiap-tiap provinsi agar segera melengkapi dukungan data dan menyusun Plan Of Action (POA) yang dilengkapi dengan sumber daya yang telah tersedia. Di samping itu, Provinsi harus melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, lintas program, dan sektor terkait di daerah untuk mendukung kegiatan ini.
Gizi dan imunisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam rangka melahirkan generasi penerus bangsa yang lebih sehat dan berkualitas. Diperlukan banyak pengertian dan kerjasama solid seluruh lapisan, baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat untuk memperhatikan masalah gizi dan imunisasi bagi anak-anak Indonesia. Pengetahuan keluarga akan gizi dan imunisasi merupakan gerbang utama menuju kejayaan bumi pertiwi.
SUKSESKAN GAIN-UCI 2010-2014
Sumber : Interaksi Edisi 3/2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar