UPT Puskesmas Tanjung Palas Utara


Green Weblog Puskesmas "KREASI"
Gerakkan mouse anda dan silahkan nikmati kembali posting blog kami!

Copyright 2011 rustamedia.blogspot.com - All rights reserved

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

by: Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

mid_rock DEFINISI 
Surveilans  kesehatan masyarakat adalah  pengumpulan,  analisis, dan analisis data secara terus- menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab  dalam  pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya  (DCP2, 2008).
Surveilans  memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi  outbreak  pada    populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan  informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit  (Last,  2001).  Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab  menggunakan metode yang sama, dan  tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).

Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif.  Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi  kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan  dan manajer  tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera  ketika penyakit mulai menyebar.  Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008). Gambar 5.1 menyajikan skema sistem surveilans:

image

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan  dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati  secara terus-menerus dan sistematis maka  perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya  dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat. 

TUJUAN SURVEILANS
Surveilans  bertujuan  memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan  populasi, sehingga penyakit dan  faktor risiko  dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:  (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,  implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002). 
Gambar 5.2 menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk mendeteksi outbreak disentri.  Grafik yang menghubungkan periode waktu pada sumbu X dengan insidensi  kasus penyakit  pada sumbu Y dapat digunakan untuk memonitor dan mendeteksi outbreak. Kecurigaan outbreak terjadi pada kuartal ke 4 tahun 2008, ketika insidensi mencapai 3 kali rata-rata per kuartal.  

image

Surveilans dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan. Gambar 5.3. menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa dan efektivitas program pengendalian TB.  Perhatikan, dengan statistik deskriptif sederhana surveilans mampu memberikan informasi tentang kinerja program TB yang meningkat dari tahun ke tahun,  baik jumlah kasus TB yang dideteksi, ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus. Perhatikan pula peran penting data time-series dalam analisis data surveilans yang dikumpulkan dari waktu ke waktu dengan interval sama.

image

JENIS SURVEILANS 
Dikenal beberapa jenis  surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4)  Surveilans Berbasis Laboratorium; (5)  Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan masyarakat global.

1.  Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera  terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan.  Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.  Tujuan karantina adalah  mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina:  (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial  membatasi  kebebasan  gerak kontak secara selektif, berdasarkan  perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos lainnya tetap bekerja. 
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,  akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007). 

2.  Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian  surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui  program
vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena  pemerintah  kekurangan  biaya.  Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing,  mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi. 

3.  Surveilans  Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance)  melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik  mengamati  indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit. 
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang  jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor  aneka  penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks,  sehingga  dapat memberikan  peringatan dini dan dapat digunakan  sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006). 
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari  fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel.  Pelaporan sampel melalui  sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan  dengan menggunakan sumber daya yang terbatas  (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).

4.  Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi.  Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium  sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008). 

5.  Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). 
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:  (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);  (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara  fungsi  inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan  pengendalian  penyakit.  Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang  penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).

6.  Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut.
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang  melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk  pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1)  fungsi inti; dan (2)  fungsi pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,
konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana (management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya  tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu  sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu  dibutuhkan suatu  sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium. 
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor perubahan-perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak  program pengendalian tuberkulosis  mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari survei rumah tangga.

PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif (Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. 
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah  penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu  petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. 

Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas  yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama.  Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi  kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006). 

SURVEILANS EFEKTIF
Karakteristik surveilans  yang  efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana,  fleksibel, akseptabel,  digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006).

Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat  (rapid) dan  tepat waktu (timely) memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan; (2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable diseases); (3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan; (4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans; (5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera. Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu).
Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak. Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2) infrastruktur  laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus. 

Standar, seragam, reliabel, kontinu.  Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. 
Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit  yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali. 

Representatif dan lengkap.  Sistem surveilans diharapkan   memonitor situasi yang sesungguhnya terjadi pada populasi. Konsekuensinya,  data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika  penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian  pelayanan kesehatan lainnya.

Sederhana, fleksibel, dan akseptabel.  Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus.  Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap level operasi.

Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.

REFERENSI

  • DCP2 (2008).  Public health surveillance.  The best weapon to avert epidemics.  Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
  • Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for quarantine. Am J Public Health;97:S44-48.
  • Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
  • Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
  • Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-health.../ epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.
  • JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
  • Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
  • Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L,  Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform Assoc., 11:141–150.
  • McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier G (2002). Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral.com
  • Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic” surveillance systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107- i114(1). 
  • Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.
  • WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer 
  • ______ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int 
  • Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the infectious diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Facebook Twitter Delicious Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger