UPT Puskesmas Tanjung Palas Utara


Green Weblog Puskesmas "KREASI"
Gerakkan mouse anda dan silahkan nikmati kembali posting blog kami!

Copyright 2011 rustamedia.blogspot.com - All rights reserved

Optimasi Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan

health-care-workers Oleh : Roberia, SH, MH

(Analisis Hukum Upaya Perluasan Cakupan Ruang Lingkup Norma Hukum Pengaturan Tenaga Kesehatan Yang Meliputi Seluruh Jenis Tenaga Kesehatan Termasuk Tenaga Medis dan Beberapa Masukan Lainnya Agar Beberapa Kelemahan Rumusan Pengaturan Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Tidak Terulang Lagi)

Pengantar

Tenaga kesehatan merupakan komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana diamanatkat oleh konstitusi. Selaku komponen utama pemberi pelayanan kesehatan tentunya keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah penting dalam kegiatan pembangunan kesehatan. Dan agar pelaksanaan dan pendayagunaan terhadap keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan tersebut berjalan dengan baik, seimbang, teratur, terjaga mutunya, dan terlindungi baik bagi tenaga kesehatan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan tersebut tentu perlu pengaturan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Selama ini pengaturan yang terkait tenaga kesehatan dilakukan dengan membuat berbagai peraturan secara tersendiri-sendiri yang berdasarkan jenis masing-masing tenaga kesehatan dan hierarki peraturannya hanyalah pada tingkat di bawah Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan bahkan lebih banyak di tingkat Peraturan Menteri Kesehatan. Dan kalau pun pada tahun 2004 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disingkat UUPK), namun UUPK ini hanya khusus mengatur dokter dan dokter gigi saja atau hanya mengatur 1 (satu) kelompok tenaga kesehatan yaitu kelompok tenaga medis saja.

Dan dengan mempertimbangkan fakta arus pergolakan tuntutan dari tenaga kesehatan lainnya akibat preseden dari pemberlakuan UUPK tersebut seperti yang dilakukan oleh suatu organisasi profesi tenaga kesehatan tertentu yang menuntut undang-undang tersendiri yang mengatur profesi mereka karena menginginkan hal yang sama dengan yang diberlakukan terhadap profesi dokter, maka tentu perlu dipertimbangkan jalan keluar yang baik mengingat banyaknya
jenis tenaga kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu tentu akan lebih efisien dan efektif baik dari segi waktu, energi, dan biaya yang akan diperlukan untuk penyusunan peraturan bila pengaturan semua jenis tenaga kesehatan dapat ditampung dalam satu undang-undang saja.

Aspirasi pengaturan untuk semua jenis tenaga kesehatan di dalam satu undang-undang saja ternyata telah menjadi perhatian yang serius dari pembentuk undang-undang. Hal ini dapat dicermati pada bunyi Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan). Pasal 21 ayat (3) tersebut menegaskan bahwa :

Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.

Hanya itu saja rumusan norma delegasi pengaturan tenaga kesehatan yang dikehendaki untuk diatur dengan Undang-Undang. Meskipun hanya demikian saja norma yang tercantum dalam batang tubuh Undang-Undang Kesehatan tersebut, yaitu terdiri dari 8 (delapan) kata namun jelas sekali bahwa norma ini memberikan amanat untuk pengaturan tentang tenaga kesehatan dengan undang-undang.
Dengan sebaris kalimat dalam norma hukum seperti itu telah menjadi sangat berarti karena sepanjang sejarah kemerdekaan negara tercinta ini belum pernah dibuat undang-undang yang khusus mengatur tenaga kesehatan secara keseluruhan, maka meskipun hanya sebaris kalimat yang terdiri dari 8 (delapan) kata tersebut, patutlah dihargai dan diapresiasi sebagai langkah maju dalam pembangunan kesehatan khususnya pembangunan hukum kesehatan di Indonesia. Karena kedelapan kata tersebut menjadi dasar legalitas yang sangat kuat yang menjadi “wajib”
untuk dibuatkan pengaturan tentang tenaga kesehatan dengan Undang-Undang.

Tapi apakah sesederhana itu akan terwujud aspirasi pengaturan semua jenis tenaga kesehatan dengan satu undang-undang ? Apalagi untuk tenaga medis (dokter dan dokter gigi), pengaturannya telah dibuat dengan UUPK yang disahkan tahun 2004. Ditambah lagi dengan adanya kalimat yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (3) yang bermakna membatasi. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.

Dengan bunyi kalimat dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (3) tersebut maka muncul pendapat yang mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan yang akan disusun tersebut hanyalah mengatur tenaga kesehatan selain tenaga medis. Dalam hal ini penulis berpendapat lain. Dan untuk menjelaskan pendapat penulis maka akan dilakukan analisis atau kajian hukum terkait permasalahan ini.

Pengertian Norma

Patut dan perlu dikemukakan terlebih dulu pengertian dari norma itu sendiri agar mendapatkan hasil kajian yang berdasar. Secara teoritis, norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran/ perintah untuk mengerjakan atau anjuran/ perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu. Secara etimologi, kata norma berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata Nomos yang berarti nilai. Sedangkan kaidah (qo’idah) berarti ukuran atau nilai pengukur. Dalam teori yang dikenal di dunia barat, norma-norma tersebut biasanya hanya digambarkan terdiri atas tiga macam muatan saja, yaitu
(a) obligattere; (b) prohibere; dan (c) permittere. Akan tetapi di Indonesia, menurut Hazairin, norma terdiri atas lima macam muatan yaitu, (a) halal atau mubah atau kebolehan (permittere); (b) sunnah: anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu; (c) makruh: anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu; (d) wajib (obligattere): perintah positif untuk melakukan sesuatu; dan (e) haram (prohibere): perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 2).

Norma Hukum

Dengan berdasarkan penjelasan tentang pengertian “norma” sebagaimana dijelaskan di atas, dapat selanjutnya diuraikan tentang pengertian “norma hukum”. Dalam norma hukum terdapat ciri pembeda yang sangat menonjol dibanding norma-norma lainnya, yaitu bahwa terhadap muatan norma yang berisi kebolehan (permittere, mogen), kewajiban (obligattere, gebod), dan
larangan (prohibere, verbod) tersebut dapat dipaksakan daya lakunya dari luar diri manusia.

Norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antar pribadi. Norma hukum dapat bersifat imperatif atau memaksa (dwingendrecht) dan yang bersifat fakultatif atau pilihan. Norma hukum fakultatif terbagi dua yaitu, norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Juga dapat dibedakan norma hukum itu antara yang bersifat umum & abstrak (berlaku untuk semua orang) dan yang bersifat konkret & individual (berlaku hanya untuk orang, pihak, subjek, atau peristiwa tertentu saja) (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 2-5).

Selanjutnya penjelasan tentang norma hukum ini dapat dikemukakan pula pendapat J. Van Kan dan J.H. Beekhuis. Mereka berpendapat bahwa norma hukum itu memberikan perlindungan kepentingan yang tidak dapat dilakukan oleh norma-norma lain. Norma-norma lain yang dimaksudkan diantaranya yaitu norma agama, dan norma susila. Sifat yang khas dari norma hukum ialah sifat memaksa, menghendaki tujuan yang lebih mendalam. Hukum memaksa dengan berbagai cara.
Paksaan dilakukan bukan dengan sewenang-wenang. Norma hukum ditujukan kepada pelanggar, bukan guna kepentingan si pelanggar, tetapi guna kepentingan orang yang mungkin menjadi korbannya (J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, 1990 : 7-15).  Di dalam kehidupan bernegara maka pembuatan dan penegakan norma hukum yang memaksa tersebut dilakukan oleh pemerintah.

Pemahaman terhadap norma hukum tidaklah cukup hanya mengerti secara teoritis saja. Pemahaman secara praktis pun harus diperoleh dengan baik.
Pemahaman secara praktis yang dimaksudkan adalah pemahaman terhadap norma hukum yang dilihat dari segi formiil dan materiil. Dari segi formiil, norma hukum itu harus mempunyai bentuk wadah yaitu dituangkan dalam berbagai jenis hierarki peraturan perundang-undangan, mulai dari hierarki yang lebih tinggi hingga hierarki yang lebih rendah yaitu mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan hingga Peraturan Daerah. Dan dari segi materiil, penyusunan norma hukum itu harus memenuhi asas-asas pembentukan, asas-asas materi muatan, dan asas-asas hukum lainnya. Kedua segi formiil dan materiil ini
dapat dipahami dengan mempelajari dan mengikuti tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan (teknik “legal drafting”).

Dengan demikian, untuk dapatnya sebuah kalimat dikategorikan sebagai norma hukum maka penyusunan kalimat itu harus mengikuti dan sesuai dengan teknik legal drafting. Dalam hal ketentuan teknik legal drafting, maka oleh pembentuk undang-undang telah dibuatkan dasar validitas dan legalitasnya dalam sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang selanjutnya disingkat UU 10/2004. Bila sudah demikian halnya, maka tidak ada alasan lagi dan sudah menjadi kewajiban untuk menjalankan perintah undang-undang dalam kegiatan pembentukan peraturan.

Isi Penjelasan Undang-Undang Bukan Norma Hukum

Berdasarkan pembahasan tentang pengertian norma, norma hukum, dan dengan didasari kepatuhan pada perintah UU 10/2004, maka terkait dengan bunyi kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (3) yang bermakna membatasi tersebut, yaitu: "Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis", haruslah
dicermati dengan saksama, dianalisis, dan dikritisi secara baik agar pelaksanaan amanah Pasal 21 ayat (3) yang berbunyi : "Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang", dapat terlaksana sebagaimana mestinya.

Dalam hal ketentuan teknik legal drafting untuk membuat “penjelasan” suatu undang-undang yang akan menjelaskan rumusan kalimat dalam pasal demi pasal yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang itu sendiri, maka harus dicermati dan ditaati ketentuan yang tercantum dalam Bab I huruf E angka 148 sampai dengan angka 151 Lampiran UU 10/2004., Selengkapnya Bab I huruf E angka 148 sampai dengan angka 151 tersebut berbunyi sebagai berikut:

E. PENJELASAN

148. a. Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan.

b. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan.

149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya mernuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.

150. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.

151. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karena itu dengan mencermati ketentuan di atas khususnya ketentuan yang terdapat dalam Bab I huruf E angka 150 Lampiran UU 10/2004, yang berbunyi: "Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan", tentu menjadi terang dan jelas bahwa kalimat yang terdapat dalam “Penjelasan Undang-Undang” adalah bukan norma hukum. Dikarenakan rangkaian kata-kata yang dimuat dalam “Penjelasan” tersebut bukanlah kategori
norma hukum maka sudah tentu tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.

Bila sudah semestinya demikian, maka disimpulkan bahwa rumusan kalimat dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (3) bukanlah termasuk kategori norma hukum. Dengan demikian rumusan kalimat tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membatasi pengaturan tenaga kesehatan secara komprehensif.
Jadi, para pembentuk undang-undang sudah sewajibnya menaati dan menegakkan ketentuan dalam Bab I huruf E angka 150 Lampiran UU 10/2004.

Apalagi bila dicermati pengalaman atas pemberlakuan UUPK yang ternyata telah menampakkan beberapa kekurangan atau kelemahan yang tadinya belum terpikirkan oleh pembentuk undang-undang saat penyusunan dan pembahasannya, tentu kesempatan ini, yaitu dengan adanya amanat penyusunan pengaturan tenaga kesehatan dengan undang-undang, dapat digunakan untuk membuat perbaikan-perbaikan sehingga pengaturan tenaga medis dapat disempurnakan rumusan normanya di dalam Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat RUU nakes) yang saat ini “mumpung” masih dalam proses penyusunan dan pembahasan atau belum disahkan.

Beberapa Masukan Lainnya Untuk Bahan Penambahan/ Perbaikan Rumusan Norma Dalam Penyusunan RUU Nakes

Belajar dari pengalaman sejak diberlakukannya UUPK pada tahun 2005, maka berikut ini penulis menyampaikan sedikit sumbang saran dan buah pikir untuk bahan masukan dalam penyusunan RUU Nakes, sebagai berikut:

  1. masukan terkait pembentukan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau nama lain yang sejenis beserta perangkat lainnya;
  2. masukan terkait pelarangan promosi/iklan tenaga kesehatan asing.

ad.a. Masukan Terkait Pembentukan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau nama lain yang sejenis beserta perangkat lainnya

Penamaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dalam tulisan ini bukanlah nama yang absolut harus seperti ini. Penamaan seperti ini dituliskan hanya sebagai ilustrasi saja. Pembentuk undang-undang dapat saja sepakat menamakan dengan nama apa pun tanpa harus terikat dengan pola atau pakem penamaan tertentu, asalkan nama yang dipilih itu hasil kehendak bersama yang menggambarkan bahwa badan yang dibentuk itu adalah badan yang berfungsi sebagai badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen yang berfungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan tenaga kesehatan.

Belajar dari pembentukan dan hasil kinerja Konsil Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang dibentuk berdasarkan UUPK, maka dalam hal pembentukan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau nama lain yang sejenis, penulis menyampaikan sedikit masukan untuk bahan penyusunan RUU Nakes, sebagai berikut:

  1. Status keanggotaan konsil

    Untuk status keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia atau nama lain yang sejenis, maka sebaiknya rumusan normanya menampung 2 (dua) jenis status keanggotaan, yaitu:

    1. Anggota tetap

      Anggota pada kelompok ini merupakan anggota yang menjalankan fungsi pengambil kebijakan dan regulasi.

    2. Anggota adhoc
      Anggota adhoc ini merupakan anggota yang menjalankan fungsi pembinaan dan penegakan disiplin keilmuan masing-masing jenis tenaga kesehatan. Anggota adhoc ini bersifat sementara karena dibutuhkan selama penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin. Dengan adanya anggota adhoc ini maka tidak perlu lagi dibentuk lembaga yang khusus menangani pelanggaran disiplin keilmuan masing-masing jenis tenaga kesehatan.
      Dengan kata lain, tidak perlu lagi membentuk lembaga seperti halnya lembaga
      yang bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
  2. Jumlah keanggotaan konsil

    a. Jumlah anggota tetap

    Jumlah keanggotaan untuk anggota tetap ini sebaiknya tidak melebihi 13 orang, yang terdiri dari:

    1. 1 orang dokter, yang mewakili kelompok tenaga medis;
    2. 1 orang dokter gigi, yang mewakili kelompok tenaga medis;
    3. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga kefarmasian;
    4. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga keperawatan;
    5. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan;
    6. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga gizi;
    7. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga keterapian fisik;
    8. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga keteknisian medis;
    9. 1 orang yang mewakili kelompok tenaga kesehatan lainnya;
    10. 1 orang yang mewakili Kementerian Kesehatan;
    11. 1 orang yang mewakili Kementerian Pendidikan;
    12. 1 orang yang mewakili unsur masyarakat awam;
    13. 1 orang yang mewakili unsur media masa.
  3. Jumlah anggota adhoc

Sedangkan untuk jumlah anggota adhoc adalah disesuaikan dengan banyaknya penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin. Kasus yang dimaksud adalah kasus dugaan pelanggaran disiplin keilmuan masing-masing jenis tenaga kesehatan.

Unsur keanggotaan adhoc ini terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu satu unsur pokok yang berasal dari organisasi profesi terkait yang ditentukan sesuai dengan jenis kasus yang akan ditangani dan satu unsur tambahan lagi dari masyarakat yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum. Satu kasus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota adhoc dengan satu diantaranya harus dari unsur sarjana hukum.

  1. Mekanisme pengangkatan dan penggantian anggota konsil

    a. Untuk anggota tetap

    Pengangkatan anggota tetap dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Anggota tetap ini diangkat berdasarkan usulan organisasi profesi.
    Anggota tetap ini diangkat untuk satu periode masa jabatan, misalnya untuk 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.

    Untuk pertama kali anggota tetap diangkat bersamaan dengan periode masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun, namun pemberhentiannya tidak bersamaan. Pemberhentian atau penggantian beberapa orang anggota tetap dilakukan lebih awal dari anggota yang lain. Hal penggantian yang tidak bersamaan ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan dan kesinkronan pelaksanaan tugas-tugas. Dengan penggantian yang tidak bersamaan tersebut maka untuk (hanya) pertama kali akan ada anggota yang
    periode masa baktinya di bawah 5 (lima) tahun.

    Terhadap anggota yang digantikan antar waktu maka penggantinya harus mempunyai masa bakti untuk periode 5 (lima) tahun berikutnya dan tidak untuk meneruskan sisa masa bakti keangggotaan yang digantikan.

    b. Untuk anggota adhoc

    Sedangkan untuk anggota adhoc maka pengangkatan dilakukan oleh Ketua Konsil. Masa bakti periode keanggotaan adhoc ini sifatnya fleksibel dan tergantung pada jumlah dan lamanya penyelesaian suatu kasus dugaan pelanggaran disiplin.

  2. Perangkat organisasi

Di samping anggota konsil atau nama lain yang sejenis yang terdiri dari anggota tetap dan anggota adhoc tersebut, maka untuk membantu dan melaksanakan tugas-tugas reguler yang bersifat rutin seperti administrasi, keuangan, dan lain-lain yang sejenis, tentu sangat diperlukan para pegawai pelaksana. Para pegawai tersebut, dalam praktik
kenegaraan lazimnya dilembagakan dalam sebuah kesekretariatan.
Kesekretariatan konsil atau nama lain yang sejenis tersebut dipimpin oleh seorang pegawai negeri dengan tingkat dan pangkat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.

Selain kesekretariatan, untuk mendukung keberhasilan
pelaksanaan fungsi dan tugas konsil atau nama lain yang sejenis maka pada
beberapa pekerjaan atau tugas tertentu perlu dibentuk pula kelompok kerja �
kelompok kerja (pokja). Keanggotaan pokja ini diutamakan berasal dari unsur
diluar konsil dan yang ahli dibidangnya. Masa bakti pokja adalah tidak tetap
dan sifatnya sementara, tergantung dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
penyelesaian tugas.

Dikarenakan penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin keilmuan masing-masing jenis tenaga kesehatan telah dilakukan oleh para anggota adhoc sebagaimana dijelaskan di atas maka tidak perlu lagi dibentuk suatu lembaga khusus seperti yang terjadi dalam UUPK dengan kewajiban membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Norma pembentukan MKDKI seperti yang tercantum dalam UUPK tersebut yang juga merumuskan norma yang menentukan batasan jumlah anggota MKDKI ternyata menjadi penyebab keterbatasan gerak langkah peningkatan kinerja penanganan kasus. Akibatnya adalah begitu lamanya waktu penyelesaian sebuah kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran hanya karena keterbatasan dalam jumlah personil.

ad.b. Masukan Terkait Pelarangan Promosi/Iklan Tenaga Kesehatan Asing


Dikarenakan belakangan ini pernah dan lebih dari satu kali muncul promosi/iklan pada harian umum surat kabar terkenal yang terbit di wilayah negara Republik Indonesia, yang menampilkan dokter asing yang berpraktik tidak di wilayah negara Republik Indonesia, maka demi kepentingan dan kedaulatan negara kita yang tercinta ini serta demi untuk perlindungan bagi masyarakat dari korban penipuan dan/atau korban malpraktik tentu sudah saatnya untuk diatur dan dibuatkan kepastian norma hukumnya. Meskipun pada tahun 2009 lalu telah disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, namun pengaturan promosi/iklan tenaga kesehatan asing belum terakomodasi dengan tegas dan jelas.

Dan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa “kita tidak bisa mengatur warga negara lain”, maka berikut tanggapan penulis. Bila yang dimaksudkan adalah mengatur warga negara lain memang tidak bisa karena yurisdiksi yang berbeda. Namun yang akan diatur adalah warga negara Republik Indonesia, badan usaha, dan/atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia maka secara hukum adalah memang sudah sewajibnya menjadi tugas negara untuk mengaturnya. Dengan demikian, pada kesempatan penyusunan dan pembahasan RUU Nakes ini perlu dicantumkan norma larangan tersebut. Secara prinsip norma larangan itu berisi aturan yang melarang setiap orang (perorangan warga negara Republik Indonesia, badan usaha, dan/ atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia) melakukan promosi/iklan tenaga kesehatan asing kecuali tenaga kesehatan asing itu memiliki izin praktik dari pemerintah negara Republik Indonesia dan juga berpraktik di wilayah negara Republik Indonesia.

Penutup

Norma hukum yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Kesehatan (yang baru disahkan pada tahun 2009 lalu) yang memberikan amanah untuk mengatur tenaga kesehatan dengan Undang-Undang tidak memberikan batasan-batasan tertentu. Norma hukum delegasi pengaturan tersebut hanya terdiri dari 8 (delapan) kata saja yaitu: "Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang".

Dan dikarenakan isi “Penjelasan Undang-Undang” bukan norma hukum sehingganya disimpulkan bahwa tidak ada norma hukum yang membatasi cakupan ruang lingkup pengaturan tenaga kesehatan, maka rumusan norma dalam RUU Nakes tentu dapat diperluas cakupan ruang lingkupnya yaitu rumusan norma yang mencakup keseluruhan jenis kelompok tenaga kesehatan termasuk kelompok tenaga medis.

Apabila perluasan cakupan pengaturan ini dilakukan, tentu kesempatan seperti ini merupakan kesempatan yang tepat pula untuk melakukan perubahan UUPK. Berbagai kelemahan dan kekurangan UUPK dapat diperbaiki melalui disahkannya RUU Nakes ini menjadi UU Nakes yang bersifat komprehensif mengatur seluruh jenis kelompok tenaga kesehatan. Dengan demikian, rumusan norma RUU Nakes yang ada sekarang ini perlu diperbaiki kembali.

Selain itu, diharapkan juga bahwa dengan analisis hukum yang dilakukan ini dapat menjadi inspirasi bagi para pembentuk undang-undang untuk membuat rumusan norma hukum yang lebih baik. Rumusan norma hukum yang lebih baik yang dimaksudkan yaitu rumusan norma hukum yang taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas materi muatan, dan asas-asas hukum lainnya.

Daftar Pustaka:

  • Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
  • Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I  Pelita IV). Disertasi pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.
  • Van Kan, J. dan J.H. Beekhuis. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia, 1990.
  • Vlies, I.C. van der. Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, Alih Bahasa: Linus Doludjawa. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005.
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  • Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
  • Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Facebook Twitter Delicious Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger